MAKALAH
EMANSIPASI
KAUM PEREMPUAN DAN GAYA HIDUP
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Psikologi
Dosen Pembimbing : Dra. Rahayu
Ginintasasi, M.Si
Disusun
oleh
Kelompok 3 :
Ani
Fitriani
Desi
Anggunsari
Monika
Tanti Febyantari
Rosi
Rosmiawati
Septerini
Anisa
PROGRAM STUDI DII
KEBIDANAN
POLTEKES TNI AU
CIMBULEUIT BANDUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Emansipasi Kaum Perempuan
dan Gaya Hidup”.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih mengandung
kekurangan, sekalipun telah di upayakan seoptimal mungkin. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat kontruktip. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa.
Bandung, Juni 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR
ISI..................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang....................................................................................
1
1.2.
Tujuan.................................................................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Manifestasi Gender
pada Posisi Kaum Perempuan..........................
3
2.2. Ketidakadilan Gender Harus
Dihentikan..........................................
6
2.3.
Gerakan Feminisme di
Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang.......................................................................................
10
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................
13
3.2. Saran................................................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perempuan adalah mayoritas dari umat manusia, namun di
mana-mana mereka adalah korban diskriminasi sistematis dan penindasan. Di
berbagai bagian di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam
rumah, dirampas hak demokratis dan ekonomi dasarnya, dipaksa melakukan
pekerjaan rumah tangga tanpa upah dan menanggung risiko menjadi korban
penindasan dan kekerasan dari lelaki.
Di negara-negara lain, perempuan menanggung dua beban:
yaitu sebagai buruh dan sebagai ibu rumah tangga, kehidupan yang penuh
penderitaan. Buruh perempuan seringkali dibayar lebih sedikit daripada buruh
laki-laki. Di pabrik-pabrik di Dunia Ketiga, buruh perempuan dianiaya secara
rutin, tidak diperbolehkan mengambil cuti hamil dan mendapat perlakuan yang
meremehkan.
Mayoritas perempuan hanya akan bebas dari penindasan
dan diskriminasi apabila landasan ekonomi dari keunggulan laki-laki
dihancurkan. Akar dari penindasan ini terdapat dalam masyarakat kelas dahulu
kala dan hingga saat ini, diteruskan dan diperkuat oleh kapitalisme global.
Hanya masyarakat sosialislah yang berlandaskan kebutuhan manusia dan bukan
keuntungan pribadi, yang dapat mengalihkan beban pekerjaan rumah tangga yang
pada saat ini dilakukan mayoritas oleh perempuan di rumah agar menjadi beban masyarakat bersama.
Sebuah masyarakat sosialis akan merencanakan
tugas-tugas seperti memelihara anak, menyediakan makanan untuk keluarga dan
mencuci pakaian secara kolektif, sehingga tugas-tugas ini tidak usah lagi
dilakukan secara terpisah oleh jutaan unit-unit keluarga yang terkucil satu
dari yang lainnya. Dengan menyediakan fasilitas untuk makan, mencuci pakaian
dan memelihara anak secara kolektif, dengan dana yang cukup dan dijalankan
secara demokratis - tugas-tugas tersebut dapat dilakukan pada standar yang
mungkin berkali lipat lebih baik daripada yang terdapat dalam berbagai keluarga
saat ini. Dengan demikian, terdapat pilihan yang riil, standar hidup yang lebih
tinggi dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang dapat menggantikan kemiskinan,
keterkucilan dan penindasan yang dialami oleh banyak perempuan kelas buruh saat
ini.
1.2. Tujuan
1. Untuk
mengetahui manifestasi gender pada posisi kaum perempuan
2. Untuk
mengetahui bagaimana menghentikan ketidakadilan gender
3. Untuk
mengetahui Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan
Strategi Mendatang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Manifestasi Gender pada
Posisi Kaum Perempuan
Perbedaan gender ini telah mengakibatkan
lahirnya sifat yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau
bahkan ketentuan Tuhan. Sifat yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun
rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural, dalam proses
yang panjang akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya posisi perempuan,
antara lain :
1. Perbedaan dan pembagian
gender yang mengakibatkan, termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum
perempuan dihadapan laki – laki. Subordinasi disini berkaitan dengan politik
terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian
kekuasaan. Meskipun jumlahnya 50% dari penduduk bumi, namun posisi kaum
perempuan di tentukan dan di pimpin oleh kaum laki – laki. Subordinasi tersebut
tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat
maupun di masing – masing rumah tangga, tetapi juga secara global.
2.Secara ekonomis, perbedaan
dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses
marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program –
program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal dengan
Revolusi Hijau, kaum perempuan sacara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.
Penggantian bibit pertanian jenis unggul terpaksa mengganti ani-ani dengan
sabit, artinya menggusur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan di komunitas
agraris terutama di pedesaan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagi ‘ Kepala
Rumah Tangga ‘ program industrialisasi pertanian secara sistematis menghalangi,
tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam
bidang pertanian ataupun akses kredit.
3. Perbedaan dan pembagian
gender juga membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang
berakibat pada penindasan terhadap mereka. Stereotipe merupakan satu bentuk
penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum
perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya
stereotipe kaum perempuan sebagai ‘ ibu rumah tangga ‘ sangat merugikan mereka.
Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai
bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di
pemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat
perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai "pencari nafkah"
mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai "sambilan atau
tambahan" dan cendrung tidak dihitung, tidak dianggap atau tidak dihargai.
4. Perbedaan dan
pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras
keringat jauh lebih panjang (double-burden). Pada umumnya jika dicermati,
disuatu rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki
dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak
observasi yang dilakukan, menunjukan bahwa hamper 90% pekerjaan domestic
dikerjakan oleh perempuan. Terlebih-lebih bagi merekayang bekerja (umpamanya
buruh industri atau profesi lainnya) artinya mereka memiliki peran ganda di
rumah dan di luar rumah).
5. Perbedaan gender
tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum
perempuan, baik secara fisik maupun secara mental. Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender
muncul dalam berbagai bentuk. Yaitu yang bersifat fisik seperti pemerkosaan
persetubuhan antar anggota keluarga
(incest), pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih sadis pemotongaan alat genital perempuan dan lain sebagainya.
Kekerasan dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan
seksual, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara
emosional.
6. Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap
manifestasinya di atas mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan
penerimaan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain segenap manifestasi
ketidakadilan gender itu sendiri juga
merupakan proses penjinakan (cooptation) peran gender perempuan, sehingga kaum
perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti
sekarang ini sebagai Sesutu yang normal dan kodrati. Jadi, keseluruhan
manifestasi tersebut ternyata saling terkait dan saling tergantung serta saling
menguatkan satu sama yang lain.
Pelanggengan posisi subordinasi, stereotype dan
kekerasan terhadap kaum perempuan ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh
idiologi dan kultur patriarki, yakni idiologi kelelakian. Idiologi ini ada di
kepala kaum laki-laki maupun perempuan,
juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi
pembangunan.
Beberapa hal bisa disimpulkan dari refleksi ini,
pertama bahwa memperjuangkan perempuan tidak sama dengan perjuangan perempuan
melawan laki-laki. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan
kaum laki-laki, melainkan persoalan system
dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidak adilan gender adalah salah
satunya. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan
untuk membalas dendam kepada laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi
perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama
manusia yang yang secarafundamental lebih baik dan baru. Hubungan ini meliputi
hubungan ekonomi, politik, cultural, ideology, lingkungan dan termasuk
didalamnya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu ada beberapa
agenda guna mengakhiri system yang tidak adil ini:
1. Melawan hegemoni
yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideology.
Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut
nasib perempuan diman saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja. Pertannyaan
tersebut dapat dimulai dari kasus yang sifatnnya makro, seperti Woman In
Development (WID), sampai kasus-kasus yang dianggap kecil yakni pembagian peran
gender dirumah tangga.
Bisa juga melakukan
pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis (critical education) atau kegiatan
apa saja yang akn membantu perempuan memahami pengalamannya dan menolak
ideology dan norma yang dipaksakan kepada mereka (weiler,1988). Tujuan upaya
tersebut adalah membangkitkan Kesadaran Kritis Gender (Gender Critical
Consciousness) yakni kesadaran akan ideology hegemoni dominan dan kaitannya
dengan penindasan gender. Maka, tugas utama yang harus dilakukan adalah
membentuk visi yang berakar pada system modernisasi, developmentelism dan
kapitalisme. Melalui pendidikan kritis, akan lahir gagasan dan nilai baru yang
menjadi dasar bagi transformasi gender.
2. Melawan paradigma
developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelekangan kaum perempuan disebabkan
karena mereka tidak berpartisipai dalam pembangunan. Karena perempuan dianggap
tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka program perlu didesain oleh
perencana ahli yang kemudian dikirimkan kepada mereka. Perempuan dianggap
sebagai objek pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur, dan deprogram.
Perempuan juga dianggap sebagai objek pembangunan pengetahuan mereka. Karena
''knowledge is power'', maka riset terhadap perempuan adalah juga proses
dominasi. Tujuan riset mereka adalah untuk memahami perempuan, agar dapat
melekukan prediksi perilaku perempuan dalam rangka merekayasa peranannya dalam
pembangunan. Dengan demikian perjuangan perempuan termasuk senantiasa
mempertanyakan dominasi elit yang menggunakan pengetahuan dan diskursus
pembangunan dari hegemoni kapitalisme dan modernisasi.
2.2. Ketidakadilan Gender
Harus Dihentikan
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat,
karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, dimana kita
masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi perlawanan mana kala
perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan karena menggugat masalah gender
sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita dapatkan dari adanya
ketidakadilan gender. Persoalannya spektrum ketidakadilan gender sangat luas,
mulai yang ada dikepala dan didalam keyakinan kita masing-masing, sampai urusan
negara.
Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar,
pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak. Pertama-tama perlu
upaya-upaya bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah
praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya adalah usaha
jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka
memerangi ketidakadilan.
Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat
dilakukan upaya-upaya program aksi yang melibatkan perempuan agar mereka mampu
membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah
marginalisasi perempuan diberbagai projek peningkatan pendapat kaum perempuan,
perlu melibatkan kaum perempuan dalam program pengembangan masyarakat, serta
berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dan menjalankan
kekuasaan disektor publik.
Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan,
perlu diupayakan pelaksanan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi
atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan
berbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga
perlu mulai digalakan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan
penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan
agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan dan
menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti mengajarkan dan
bahkan mendoron para pelaku untuk melanggengkanya. Pelaku penyiksaan,
pemerkosaan dan pelecehan sering kali salah kaprah bahwa ketidak tegasan
penolakan dianggapnya karena diam-diam perempuan juga menyukainya. Perlu
kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling
membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah
kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, dan segala bentuk
merendahkan perempuan bukan semata-mata salah perempuan, maka usaha untuk
menghentikan secara bersama perlu digalakan.
Termasuk dalam kegiatan praktis jangka pendek adalah
mempelajari berbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan
kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat
setiap kejadian dalam buku hgarian, termasuk sikap penolakan dan response yang
diterima, secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika
peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha seperti menyuarakan
uneg-uneg kekolom '' surat pembaca'' perlu diintensifkan usaha ini tidak saja
memiliki dimensi peraktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan
dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan
bagi masyarakat luas. Secara peraktis dalam sirat-surat itu harus tersirat
semacam ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera dihentikan,
maka kejahatan itu bias dan akan dilaporkan kepenguasa pada tingkatan yang
lebih atas. Kesankan bahwa anda tidak sendiri melainkan suatu kelompok
perempuan yang tengah menyadari hal itu. Suatu kelompok atau organisai lebih
sulit diintimidasi ketimbang individu.
Usaha perjuangan strategis jangka panjang perlu
dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Meningat usaha-usaha
praktis diatas sering kali justru berhenti dan tidak berdaya hasil karena
hambatan idiologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru
akan menyalahkan korbannya, maka perjuangan strategis ini meliputi berbagai
peperangan idiologis dimasyarakat. Bentuk-bentuk peperangan tersebut misalnya
dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan .pendidikan umum masyarakat untuk
menghentikan berbagai bentuk ketidak adilan gender. Upaya strategis itu perlu
dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi tentang
berbagai bentuk ketidakadilan gender baik dimasyarakat, Negara maupun dalam
rumah tangga bahan kajian ini selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan
advokasi guna mencapai perubahan kebijakan, hukum dan aturan pemerintah yang
dinilai tidak adil terhadap kaum perempuan.
Agenda Mendesak
Feminisme sebagai gerakan sosial dalam dua dasawarsa
terakhir telah menunjukan dampaknya secara kuantitatif spektakuler. Secara
kuantitatif dan peraktis dampak tersebut terlihat dalam dua puluh tahun
terakhir dengan terjadinya perubahan yang menyangkut nasi kaum perempuan secara
global. Misalnya saja dari aspek politik, kaum perempuan secara global saat ini telah memiliki hak untuk
memilih. Secara kualitatif mereka belum memberi dampak yang terlalu besar,
terutama dalam hal memainkan peran sebagai penentu kebijakan politik dan
ekonomi, karena peran kaum perempuan memang belum banyak berubah dan masih
dalam posisi minoritas. Misalnya saja sampai pada tahun 1990-an hanya enam
negara didunia ini yang pemimpinnya adalah perempuan. Dari 93 negara diseluruh
dunia, hanya 3,5% dari menteri-menteri kabinetnya yang dijabat perempuan.
Dari aspek pendidikan, prestasi kaum perempuan
dalam mengejar ketertinggalan mereka dari pendidikan kaum laki-laki justru jauh
lebih mengesankan. Jumlah kaum perempuan buta huruf dalam dasawarsa terakhir
menurun secara drastis dibanding kaum laki-laki.
Dari segi kesehatan, kondisi mereka juga
mengalami perbaikan luar biasa. Jumlah kaum perempuan yang melahirkan secara
global mengalami penurunan, dari 2,6% pada tahun 1970, turun hanya 1,8 pada
tahun 1990. Demikian halnya penggunaan kontrasepsi secara global juga naik dari
15% ke 33% tahun 1980-an.
Dari segi ekonomi, peran kaum perempuan juga
melonjak dengan pesat. Perjuangan mereka dalam mengesahkan Anti-discrimination Law secara global telah membawa dampak luas
terhadap kesempatan kerja kaum perempuan. Jika dulu hanyakaum laki-laki yang
mendominasi lapangan pekerjaan karena dianggap produktif, namun saat ini jam
kerja kaum perempuan dan laki-laki secara global tidak menunjukkan perbedaan
signifikan.
Prestasi gerakan fenimisme yang terbesar
sesungguhnya justru dalam membawa isu perempuan menjadi isu domonan. Saat ini
hampir seluruh organisasi internasional baik yang berada dibawah pemerintah
seperti USAID, CIDA, ODA dan lain- lain, maupun internasional NGOs seperti
OXFAM, Save the Children, NOVIB, dan ratusan lainnya, meletakkan agenda dan ide
gender dalam kegiatan mereka. Bahkan PBB di tahun 70-an telah meletakkan kaum
perempuan sebagai agenda global, yakni dengan menetapkan Dekade Perempuan PBB.
Akibat dari itu, hampir semua negara didunia ketiga keudian juga membuat agenda
dan direalisasikan dalam kabinet mereka dengan membentuk kementrian urusan wanita ataupun peranan waita dalam pembangunan. Seluruh
usaha tersebut mencapai puncaknya dengan diselenggarakannya konferensi
internasional tentang perempuan di Beijing pada akhir tahun 1995.
Namun demikian, pertanyaannya adalah apakah
perubahan kuantitatif tersebut yakni perubahan yang hanya menyentuh dan
menyangkut persoalan-persoalan praktis kaum perempuan cukup untuk mengubah
posisi kaum perempuan? Dalam aspek yang lebih strategis , jamgka panjang,
sesungguhnya perjuangan emansipasi kaum perempuan barulah dimulai. Masih
diperluakn upaya yang lebih strategis yang menyangkut perubahan asumsi,
konsepsi, keyakinan dan persepsi masyarakat tentang kaum perempuan. Usaha
menggeser asumsi ini pada dasarnya merupakan usaha dan perjuangan jangka
panjang karena menyangkut perjuangan dalam aspek ideologi. Untuk menuju gerakan
yang lebih strategis, feminisme masih membutuhkan berbagai rumusan dan meahami
tantangan – tantangannya.
2.3. Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan
dan Strategi Mendatang
Secara kasar kita bisa mengamati tahapan –
tahapan dari perjuangan isu perempuan dan isu ketidakadilan gender oleh gerakan
fenimisme di Indonesia. Meskipun gerakan feminisme sudah terdengar sejak awal
tahun 60-an namun baru menjadi isu dalam kaitannya denagn pembangunan pada
tahun 70-an oleh sejumlah aktivis LSM. Secara sederhana dapat dibagi dalam tiga
dasawarsa tahapan. Dasawarsa pertama adalah tahapan “pelecehan”. Selama tahun
1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap masalah gender bukan menjadi
masalah penting, bahakan banyak yang melakukan pelecehan.umumnya mereka tidak
menggunakan analisis gender, sehingga
reaksi terhadap masalah itu sendiri sering menimbulkan konflik antaraktivis
perempuan danlainnya. Perlawanan terhadap masalah perempuann dikalangan aktivis
mengambil bentuk bermacam – macam. Umumnya bentuk perlawanannya adalah denagn
penjinakan demi kelancaran projek dari agenda utama program organisasi yang
bersangkutan.
Periode dasawarsa kedua adalah 1985-1995. Dasawarsa
tersebut pada dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman dasar
tentang apa yang dimaksud analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah
pembangunan. Banyak orang menganggap bahwa masa pengenalan analisis gender
tersebut erat kaitannay dengan kuatnya kebijakan lembaga – lembaga donor
tentang masalah tersebut. Sehingga, banyak sekali orang meragukan apakah
memangpara aktivis LSM menerima isu tersebut dengan kesadaran kritis mereka.
Banyak indikasi menunjukkan bahwa penerimaan tersebut lebih kepada pendekatan
kuantitatif, tanpa analisis yang mendalam. Lambat laun upaya tersebut membawa
hasil, diamana isu gender dan isu perempuan tidak lagi dilecehkan, bahkan mulai
diminati. Pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan gender dilakukan
dimana – mana, dan hal tersebut sanagt membantu menjelaskan pengertian isu
gender sebenarnya. Berbagai buku yang menjelaskan isu tersebut mulai
dikembangkan. Selain itu berbagai LSM mulai membuat program-program percontohan
yang dikenal dengan program Women in
Development. Analisis Gender and
Development pada saat yang sama juga mulai dikembangkan. Beberapa LSM juga
memakai analisis gender dalam mengembangkan program-programnya.
Berbagai tantangan pada dasawarsa kedua ini
muncul dalam pelbagai bentuknya. Pertama, tantanagn dari pemikiran dan tafsiran
keagamaan yang patriarki. Berbagai usaha untuk mendialogkan antara pengikut
agama dengan isu gender juga telah telah sering dilakukan. Ini berarti perlu
suatu pengorganisasian penafsiran kembali ayat-ayat al-Qur’an dan fikih dengan
menggunakan perspektif gender. Tantangan lain yang sudah diidentifikasi pada
tahap ketiga ini adalah tantangan gerakan kilas balik dari aktivis baik lelaki maupun
kaum permpuan sendiri. Ini berarti baha masalah ketidakadlan gender telah
mencapai puncak dinamikanya, dan selanjutnya mulai dirasakan adanya persoalan
yang ditimbulkan dan harus dihadapi. Salah satu reaksi, bahwa masalah gender
dianggap bukan masalah lagi. Nasibnya akan menjadi seperti analisis kelas,
diabaikan dan sudah dianggap tidak relevan. Reaksi lainnya, justru penolakan
dalam berntuk keingina untuk kembali seperti sedia kala. Dengan kata lain pada
masa ketiga ini diperlukan strategi yang matang, kalau tidak justru akan
menghancurkan apa yang telah dibangun selama dua dasawarsa terakhir.
Pada dasawarsa mendatang, dua strategi utama
diusulkan, yakni: pertama, mengintegrasiakn gender kedalam seluruh kebijakan
dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan, kedua, strategi
advokasi. Untuk yang pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju
terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif
gender atau gender policy bagi setiap
organisasi. Ini berarti bahwa upaya-upaya penanganan masalah perempuan harus
dikembangkan secara struktural dan sistemik seiring dengan perkembanagn
kelembagaan setiap organisasi maupun institusi pendidikan. Suatu kebijakan yang
tegas mulai harus diperkenalkan, misalnya keijakan gender staff recruitment dan staff
development. Perencanaan program yang berwawasan gender, pengembangan
kurikulum dan metode pendidikan, dalam setiap kegiatan evaluasi , dalam
kegiatan penelitian dengan mengenalkan feminist
research, manajemen yang berperspektif gender dan seterusnya.
Sedangkan untuk strategi kedua yakni advokasi,
diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender
di negara dan masyarakat. Untuk mempersiapkan perjuangan melalui perubahan
hukum dan pelaksanaannya ini perlu dilakukan identifikasi permasalahannya,
pertama, apakah letak permasalahannya berada dalam substansi hukum yang memuat
ketidakadilan gender. Yang dimaksud “ substansi hukum “ adalah baik hukum yang
tertulis seperti perundang-undangan negara maupun tafsiran agama dalam bentuk
fikih, ataupun hukum yang tak tertulis seperti hukum adat. Apabila persoalannya
disana, strateginya adalah melakukan advokasi untuk mendesakkan alternatif
hukum yang berperspektif keadilan gender. Kedua, jika persoalannya terletak
pada kultur hukum, artinya kultur masyarakat dalam menaati hukum, maka strategi
yang dianggap paling strategis adalah kampanye dan pendidikan massa. Terakhir
jika persoalannya terletak pada pelaksanaan hukum atau struktur hukum maka
strategi yang tepat adalah kampanye pendidikan dan penyadaran aparat hukum
tentang masalah ketidakadilan gender.
Dari uraian dan refleksi di atas, kita bisa
mengatakan bahwa memperjuangkan perbaikan posisi dan kondisi kaum perempuan
tidak sama dengan perjuangan kaum perempuan melawan laki-laki. Karena persoalan
penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich, melainkan
persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan, salah satunya,
ketidakadilan gender.
Gerekan kaum perempuan adalah gerakan
transformasi perempuan : yaitu suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan
antarsesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.
Maka, dengan kata lain, proses transformasi
sosial sesungguhnya bisa dinamakan proses demokratisasi. Proses demokratisasi
merupakan alternatif bagi developmentalism, karena pada kenyataanya developmentalism
merupakan perwujudan sistem yang secara ekonomi sesungguhnya sangat
otoriter dan eksploitatif, secara politik sangat represif, dan secara kultural
melahirka dominasi. Jadi, demokratisasi merupakan satu-satunya cara dan proses
yang memungkinkan terciptanya ruang kesempatan, wewenang dan memungkinkan
rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama dengan
prinsip persamaan dan keadilan. Demokratisasi akan terjadi jika memang
masyarakat sendiri mengidamkan, mencita-citakan, dan memenangkan perjuangannya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Perbedaan
gender ini telah mengakibatkan lahirnya sifat yang oleh masyarakat dianggap
sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan
kaum laki-laki, melainkan persoalan system
dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidak adilan gender adalah salah
satunya. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan
untuk membalas dendam kepada laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi
perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama
manusia yang yang secarafundamental lebih baik dan baru.
3.2. Saran
Penyusun menyarankan agar lebih diperbanyak
lagi buku atau referensi tentang emansipasi kaum wanita dan gaya hidup.
Penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua kalangan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Fakin, Mansour. 2001. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
No comments:
Post a Comment
Teriakasih sudah memberikan komentar yang baik di blog ini.
Jangan lupa berkunjung kembali dan tinggalkan komentarnya lagi ya !!!!