perlengkapan dapur

Tuesday, June 12, 2012

Makalah Emansipasi Kaum Perempuan dan Gaya Hidup


MAKALAH
EMANSIPASI KAUM PEREMPUAN DAN GAYA HIDUP
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi
Dosen Pembimbing : Dra. Rahayu Ginintasasi, M.Si







Disusun oleh Kelompok 3 :
Ani Fitriani
Desi Anggunsari
Monika Tanti Febyantari
Rosi Rosmiawati
Septerini Anisa


PROGRAM STUDI DII KEBIDANAN
POLTEKES TNI AU CIMBULEUIT BANDUNG
2011


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Emansipasi Kaum Perempuan dan Gaya Hidup”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih mengandung kekurangan, sekalipun telah di upayakan seoptimal mungkin. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat kontruktip. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa.



                                                                                            Bandung,   Juni 2011                                                                                                           
                                                                                                                 
Penyusun








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2.      Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.      Manifestasi Gender pada Posisi Kaum Perempuan.......................... 3
2.2.      Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan.......................................... 6
2.3.      Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi           Mendatang....................................................................................... 10         
BAB III PENUTUP
3.1.      Kesimpulan...................................................................................... 13
3.2.      Saran................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 14








BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
Perempuan adalah mayoritas dari umat manusia, namun di mana-mana mereka adalah korban diskriminasi sistematis dan penindasan. Di berbagai bagian di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam rumah, dirampas hak demokratis dan ekonomi dasarnya, dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa upah dan menanggung risiko menjadi korban penindasan dan kekerasan dari lelaki.
Di negara-negara lain, perempuan menanggung dua beban: yaitu sebagai buruh dan sebagai ibu rumah tangga, kehidupan yang penuh penderitaan. Buruh perempuan seringkali dibayar lebih sedikit daripada buruh laki-laki. Di pabrik-pabrik di Dunia Ketiga, buruh perempuan dianiaya secara rutin, tidak diperbolehkan mengambil cuti hamil dan mendapat perlakuan yang meremehkan.
Mayoritas perempuan hanya akan bebas dari penindasan dan diskriminasi apabila landasan ekonomi dari keunggulan laki-laki dihancurkan. Akar dari penindasan ini terdapat dalam masyarakat kelas dahulu kala dan hingga saat ini, diteruskan dan diperkuat oleh kapitalisme global. Hanya masyarakat sosialislah yang berlandaskan kebutuhan manusia dan bukan keuntungan pribadi, yang dapat mengalihkan beban pekerjaan rumah tangga yang pada saat ini dilakukan mayoritas oleh perempuan di rumah  agar menjadi beban masyarakat bersama.
Sebuah masyarakat sosialis akan merencanakan tugas-tugas seperti memelihara anak, menyediakan makanan untuk keluarga dan mencuci pakaian secara kolektif, sehingga tugas-tugas ini tidak usah lagi dilakukan secara terpisah oleh jutaan unit-unit keluarga yang terkucil satu dari yang lainnya. Dengan menyediakan fasilitas untuk makan, mencuci pakaian dan memelihara anak secara kolektif, dengan dana yang cukup dan dijalankan secara demokratis - tugas-tugas tersebut dapat dilakukan pada standar yang mungkin berkali lipat lebih baik daripada yang terdapat dalam berbagai keluarga saat ini. Dengan demikian, terdapat pilihan yang riil, standar hidup yang lebih tinggi dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang dapat menggantikan kemiskinan, keterkucilan dan penindasan yang dialami oleh banyak perempuan kelas buruh saat ini.

1.2.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui manifestasi gender pada posisi kaum perempuan
2.      Untuk mengetahui bagaimana menghentikan ketidakadilan gender
3.      Untuk mengetahui Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang













BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Manifestasi Gender pada Posisi Kaum Perempuan
Perbedaan gender ini telah mengakibatkan lahirnya sifat yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural, dalam proses yang panjang akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya posisi perempuan, antara lain :
1. Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan laki – laki. Subordinasi disini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlahnya 50% dari penduduk bumi, namun posisi kaum perempuan di tentukan dan di pimpin oleh kaum laki – laki. Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat maupun di masing – masing rumah tangga, tetapi juga secara global.
2.Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program – program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau, kaum perempuan sacara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan. Penggantian bibit pertanian jenis unggul terpaksa mengganti ani-ani dengan sabit, artinya menggusur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan di komunitas agraris terutama di pedesaan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagi ‘ Kepala Rumah Tangga ‘ program industrialisasi pertanian secara sistematis menghalangi, tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian ataupun akses kredit.
3. Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Stereotipe merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotipe kaum perempuan sebagai ‘ ibu rumah tangga ‘ sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai "pencari nafkah" mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai "sambilan atau tambahan" dan cendrung tidak dihitung, tidak dianggap atau tidak dihargai.
4. Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih panjang (double-burden). Pada umumnya jika dicermati, disuatu rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak observasi yang dilakukan, menunjukan bahwa hamper 90% pekerjaan domestic dikerjakan oleh perempuan. Terlebih-lebih bagi merekayang bekerja (umpamanya buruh industri atau profesi lainnya) artinya mereka memiliki peran ganda di rumah dan di luar rumah).
5. Perbedaan gender tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun secara mental. Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk. Yaitu yang bersifat fisik seperti pemerkosaan persetubuhan antar anggota keluarga (incest), pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih sadis pemotongaan alat genital perempuan dan lain sebagainya. Kekerasan dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional.
6. Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain segenap manifestasi ketidakadilan gender itu  sendiri juga merupakan proses penjinakan (cooptation) peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti sekarang ini sebagai Sesutu yang normal dan kodrati. Jadi, keseluruhan manifestasi tersebut ternyata saling terkait dan saling tergantung serta saling menguatkan satu sama yang lain.
Pelanggengan posisi subordinasi, stereotype dan kekerasan terhadap kaum perempuan ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh idiologi dan kultur patriarki, yakni idiologi kelelakian. Idiologi ini ada di kepala kaum laki-laki maupun  perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi pembangunan.
Beberapa hal bisa disimpulkan dari refleksi ini, pertama bahwa memperjuangkan perempuan tidak sama dengan perjuangan perempuan melawan laki-laki. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan kaum laki-laki, melainkan persoalan system dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidak adilan gender adalah salah satunya. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang yang secarafundamental lebih baik dan baru. Hubungan ini meliputi hubungan ekonomi, politik, cultural, ideology, lingkungan dan termasuk didalamnya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu ada beberapa agenda guna mengakhiri system yang tidak adil ini:
1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideology. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan diman saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja. Pertannyaan tersebut dapat dimulai dari kasus yang sifatnnya makro, seperti Woman In Development (WID), sampai kasus-kasus yang dianggap kecil yakni pembagian peran gender dirumah tangga.
Bisa juga melakukan pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis (critical education) atau kegiatan apa saja yang akn membantu perempuan memahami pengalamannya dan menolak ideology dan norma yang dipaksakan kepada mereka (weiler,1988). Tujuan upaya tersebut adalah membangkitkan Kesadaran Kritis Gender (Gender Critical Consciousness) yakni kesadaran akan ideology hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan gender. Maka, tugas utama yang harus dilakukan adalah membentuk visi yang berakar pada system modernisasi, developmentelism dan kapitalisme. Melalui pendidikan kritis, akan lahir gagasan dan nilai baru yang menjadi dasar bagi transformasi gender.
2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelekangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipai dalam pembangunan. Karena perempuan dianggap tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka program perlu didesain oleh perencana ahli yang kemudian dikirimkan kepada mereka. Perempuan dianggap sebagai objek pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur, dan deprogram. Perempuan juga dianggap sebagai objek pembangunan pengetahuan mereka. Karena ''knowledge is power'', maka riset terhadap perempuan adalah juga proses dominasi. Tujuan riset mereka adalah untuk memahami perempuan, agar dapat melekukan prediksi perilaku perempuan dalam rangka merekayasa peranannya dalam pembangunan. Dengan demikian perjuangan perempuan termasuk senantiasa mempertanyakan dominasi elit yang menggunakan pengetahuan dan diskursus pembangunan dari hegemoni kapitalisme dan modernisasi.
2.2. Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, dimana kita masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi perlawanan mana kala perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan karena menggugat masalah gender sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita dapatkan dari adanya ketidakadilan gender. Persoalannya spektrum ketidakadilan gender sangat luas, mulai yang ada dikepala dan didalam keyakinan kita masing-masing, sampai urusan negara.
Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak. Pertama-tama perlu upaya-upaya bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya adalah usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan.
Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya-upaya program aksi yang melibatkan perempuan agar mereka mampu membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah marginalisasi perempuan diberbagai projek peningkatan pendapat kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan dalam program pengembangan masyarakat, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dan menjalankan kekuasaan disektor publik.
Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan, perlu diupayakan pelaksanan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti mengajarkan dan bahkan mendoron para pelaku untuk melanggengkanya. Pelaku penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan sering kali salah kaprah bahwa ketidak tegasan penolakan dianggapnya karena diam-diam perempuan juga menyukainya. Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, dan segala bentuk merendahkan perempuan bukan semata-mata salah perempuan, maka usaha untuk menghentikan secara bersama perlu digalakan.
Termasuk dalam kegiatan praktis jangka pendek adalah mempelajari berbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kejadian dalam buku hgarian, termasuk sikap penolakan dan response yang diterima, secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha seperti menyuarakan uneg-uneg kekolom '' surat pembaca'' perlu diintensifkan usaha ini tidak saja memiliki dimensi peraktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan bagi masyarakat luas. Secara peraktis dalam sirat-surat itu harus tersirat semacam ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera dihentikan, maka kejahatan itu bias dan akan dilaporkan kepenguasa pada tingkatan yang lebih atas. Kesankan bahwa anda tidak sendiri melainkan suatu kelompok perempuan yang tengah menyadari hal itu. Suatu kelompok atau organisai lebih sulit diintimidasi ketimbang individu.
Usaha perjuangan strategis jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Meningat usaha-usaha praktis diatas sering kali justru berhenti dan tidak berdaya hasil karena hambatan idiologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan korbannya, maka perjuangan strategis ini meliputi berbagai peperangan idiologis dimasyarakat. Bentuk-bentuk peperangan tersebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan  .pendidikan umum masyarakat untuk menghentikan berbagai bentuk ketidak adilan gender. Upaya strategis itu perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender baik dimasyarakat, Negara maupun dalam rumah tangga bahan kajian ini selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan advokasi guna mencapai perubahan kebijakan, hukum dan aturan pemerintah yang dinilai tidak adil terhadap kaum perempuan.
Agenda Mendesak
Feminisme sebagai gerakan sosial dalam dua dasawarsa terakhir telah menunjukan dampaknya secara kuantitatif spektakuler. Secara kuantitatif dan peraktis dampak tersebut terlihat dalam dua puluh tahun terakhir dengan terjadinya perubahan yang menyangkut nasi kaum perempuan secara global. Misalnya saja dari aspek politik, kaum perempuan secara global saat ini telah memiliki hak untuk memilih. Secara kualitatif mereka belum memberi dampak yang terlalu besar, terutama dalam hal memainkan peran sebagai penentu kebijakan politik dan ekonomi, karena peran kaum perempuan memang belum banyak berubah dan masih dalam posisi minoritas. Misalnya saja sampai pada tahun 1990-an hanya enam negara didunia ini yang pemimpinnya adalah perempuan. Dari 93 negara diseluruh dunia, hanya 3,5% dari menteri-menteri kabinetnya yang dijabat perempuan.
Dari aspek pendidikan, prestasi kaum perempuan dalam mengejar ketertinggalan mereka dari pendidikan kaum laki-laki justru jauh lebih mengesankan. Jumlah kaum perempuan buta huruf dalam dasawarsa terakhir menurun secara drastis dibanding kaum laki-laki.
Dari segi kesehatan, kondisi mereka juga mengalami perbaikan luar biasa. Jumlah kaum perempuan yang melahirkan secara global mengalami penurunan, dari 2,6% pada tahun 1970, turun hanya 1,8 pada tahun 1990. Demikian halnya penggunaan kontrasepsi secara global juga naik dari 15% ke 33% tahun 1980-an.
Dari segi ekonomi, peran kaum perempuan juga melonjak dengan pesat. Perjuangan mereka dalam mengesahkan Anti-discrimination Law secara global telah membawa dampak luas terhadap kesempatan kerja kaum perempuan. Jika dulu hanyakaum laki-laki yang mendominasi lapangan pekerjaan karena dianggap produktif, namun saat ini jam kerja kaum perempuan dan laki-laki secara global tidak menunjukkan perbedaan signifikan.
Prestasi gerakan fenimisme yang terbesar sesungguhnya justru dalam membawa isu perempuan menjadi isu domonan. Saat ini hampir seluruh organisasi internasional baik yang berada dibawah pemerintah seperti USAID, CIDA, ODA dan lain- lain, maupun internasional NGOs seperti OXFAM, Save the Children, NOVIB, dan ratusan lainnya, meletakkan agenda dan ide gender dalam kegiatan mereka. Bahkan PBB di tahun 70-an telah meletakkan kaum perempuan sebagai agenda global, yakni dengan menetapkan Dekade Perempuan PBB. Akibat dari itu, hampir semua negara didunia ketiga keudian juga membuat agenda dan direalisasikan dalam kabinet mereka dengan membentuk kementrian urusan wanita ataupun peranan waita dalam pembangunan. Seluruh usaha tersebut mencapai puncaknya dengan diselenggarakannya konferensi internasional tentang perempuan di Beijing pada akhir tahun 1995.
Namun demikian, pertanyaannya adalah apakah perubahan kuantitatif tersebut yakni perubahan yang hanya menyentuh dan menyangkut persoalan-persoalan praktis kaum perempuan cukup untuk mengubah posisi kaum perempuan? Dalam aspek yang lebih strategis , jamgka panjang, sesungguhnya perjuangan emansipasi kaum perempuan barulah dimulai. Masih diperluakn upaya yang lebih strategis yang menyangkut perubahan asumsi, konsepsi, keyakinan dan persepsi masyarakat tentang kaum perempuan. Usaha menggeser asumsi ini pada dasarnya merupakan usaha dan perjuangan jangka panjang karena menyangkut perjuangan dalam aspek ideologi. Untuk menuju gerakan yang lebih strategis, feminisme masih membutuhkan berbagai rumusan dan meahami tantangan – tantangannya.

2.3. Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi Mendatang
Secara kasar kita bisa mengamati tahapan – tahapan dari perjuangan isu perempuan dan isu ketidakadilan gender oleh gerakan fenimisme di Indonesia. Meskipun gerakan feminisme sudah terdengar sejak awal tahun 60-an namun baru menjadi isu dalam kaitannya denagn pembangunan pada tahun 70-an oleh sejumlah aktivis LSM. Secara sederhana dapat dibagi dalam tiga dasawarsa tahapan. Dasawarsa pertama adalah tahapan “pelecehan”. Selama tahun 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap masalah gender bukan menjadi masalah penting, bahakan banyak yang melakukan pelecehan.umumnya mereka tidak menggunakan  analisis gender, sehingga reaksi terhadap masalah itu sendiri sering menimbulkan konflik antaraktivis perempuan danlainnya. Perlawanan terhadap masalah perempuann dikalangan aktivis mengambil bentuk bermacam – macam. Umumnya bentuk perlawanannya adalah denagn penjinakan demi kelancaran projek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.
Periode dasawarsa kedua adalah 1985-1995. Dasawarsa tersebut pada dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Banyak orang menganggap bahwa masa pengenalan analisis gender tersebut erat kaitannay dengan kuatnya kebijakan lembaga – lembaga donor tentang masalah tersebut. Sehingga, banyak sekali orang meragukan apakah memangpara aktivis LSM menerima isu tersebut dengan kesadaran kritis mereka. Banyak indikasi menunjukkan bahwa penerimaan tersebut lebih kepada pendekatan kuantitatif, tanpa analisis yang mendalam. Lambat laun upaya tersebut membawa hasil, diamana isu gender dan isu perempuan tidak lagi dilecehkan, bahkan mulai diminati. Pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan gender dilakukan dimana – mana, dan hal tersebut sanagt membantu menjelaskan pengertian isu gender sebenarnya. Berbagai buku yang menjelaskan isu tersebut mulai dikembangkan. Selain itu berbagai LSM mulai membuat program-program percontohan yang dikenal dengan program Women in Development. Analisis Gender and Development pada saat yang sama juga mulai dikembangkan. Beberapa LSM juga memakai analisis gender dalam mengembangkan program-programnya.
Berbagai tantangan pada dasawarsa kedua ini muncul dalam pelbagai bentuknya. Pertama, tantanagn dari pemikiran dan tafsiran keagamaan yang patriarki. Berbagai usaha untuk mendialogkan antara pengikut agama dengan isu gender juga telah telah sering dilakukan. Ini berarti perlu suatu pengorganisasian penafsiran kembali ayat-ayat al-Qur’an dan fikih dengan menggunakan perspektif gender. Tantangan lain yang sudah diidentifikasi pada tahap ketiga ini adalah tantangan gerakan kilas balik dari aktivis baik lelaki maupun kaum permpuan sendiri. Ini berarti baha masalah ketidakadlan gender telah mencapai puncak dinamikanya, dan selanjutnya mulai dirasakan adanya persoalan yang ditimbulkan dan harus dihadapi. Salah satu reaksi, bahwa masalah gender dianggap bukan masalah lagi. Nasibnya akan menjadi seperti analisis kelas, diabaikan dan sudah dianggap tidak relevan. Reaksi lainnya, justru penolakan dalam berntuk keingina untuk kembali seperti sedia kala. Dengan kata lain pada masa ketiga ini diperlukan strategi yang matang, kalau tidak justru akan menghancurkan apa yang telah dibangun selama dua dasawarsa terakhir.
Pada dasawarsa mendatang, dua strategi utama diusulkan, yakni: pertama, mengintegrasiakn gender kedalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan, kedua, strategi advokasi. Untuk yang pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender atau gender policy bagi setiap organisasi. Ini berarti bahwa upaya-upaya penanganan masalah perempuan harus dikembangkan secara struktural dan sistemik seiring dengan perkembanagn kelembagaan setiap organisasi maupun institusi pendidikan. Suatu kebijakan yang tegas mulai harus diperkenalkan, misalnya keijakan gender staff recruitment dan staff development. Perencanaan program yang berwawasan gender, pengembangan kurikulum dan metode pendidikan, dalam setiap kegiatan evaluasi , dalam kegiatan penelitian dengan mengenalkan feminist research, manajemen yang berperspektif gender dan seterusnya.
Sedangkan untuk strategi kedua yakni advokasi, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat. Untuk mempersiapkan perjuangan melalui perubahan hukum dan pelaksanaannya ini perlu dilakukan identifikasi permasalahannya, pertama, apakah letak permasalahannya berada dalam substansi hukum yang memuat ketidakadilan gender. Yang dimaksud “ substansi hukum “ adalah baik hukum yang tertulis seperti perundang-undangan negara maupun tafsiran agama dalam bentuk fikih, ataupun hukum yang tak tertulis seperti hukum adat. Apabila persoalannya disana, strateginya adalah melakukan advokasi untuk mendesakkan alternatif hukum yang berperspektif keadilan gender. Kedua, jika persoalannya terletak pada kultur hukum, artinya kultur masyarakat dalam menaati hukum, maka strategi yang dianggap paling strategis adalah kampanye dan pendidikan massa. Terakhir jika persoalannya terletak pada pelaksanaan hukum atau struktur hukum maka strategi yang tepat adalah kampanye pendidikan dan penyadaran aparat hukum tentang masalah ketidakadilan gender.
Dari uraian dan refleksi di atas, kita bisa mengatakan bahwa memperjuangkan perbaikan posisi dan kondisi kaum perempuan tidak sama dengan perjuangan kaum perempuan melawan laki-laki. Karena persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan, salah satunya, ketidakadilan gender.
Gerekan kaum perempuan adalah gerakan transformasi perempuan : yaitu suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antarsesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.
Maka, dengan kata lain, proses transformasi sosial sesungguhnya bisa dinamakan proses demokratisasi. Proses demokratisasi merupakan alternatif bagi developmentalism, karena pada kenyataanya developmentalism merupakan perwujudan sistem yang secara ekonomi sesungguhnya sangat otoriter dan eksploitatif, secara politik sangat represif, dan secara kultural melahirka dominasi. Jadi, demokratisasi merupakan satu-satunya cara dan proses yang memungkinkan terciptanya ruang kesempatan, wewenang dan memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama dengan prinsip persamaan dan keadilan. Demokratisasi akan terjadi jika memang masyarakat sendiri mengidamkan, mencita-citakan, dan memenangkan perjuangannya.








BAB III
PENUTUP
3.1.            Kesimpulan
            Perbedaan gender ini telah mengakibatkan lahirnya sifat yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan kaum laki-laki, melainkan persoalan system dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidak adilan gender adalah salah satunya. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada laki-laki. Jika demikian, gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang yang secarafundamental lebih baik dan baru.
3.2.      Saran
Penyusun menyarankan agar lebih diperbanyak lagi buku atau referensi tentang emansipasi kaum wanita dan gaya hidup. Penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua kalangan mahasiswa.
                            











DAFTAR PUSTAKA
Fakin, Mansour. 2001. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

No comments:

Post a Comment

Teriakasih sudah memberikan komentar yang baik di blog ini.
Jangan lupa berkunjung kembali dan tinggalkan komentarnya lagi ya !!!!